Jika Cinta yang Tulus Tak Pernah Dianggap, Buat Apa Mempertahankannya?



Cinta… kedua kalinya kurasakan kembali, seusai cinta pertamaku kandas. Cinta pertama yang begitu indah di masa-masa remaja di bangku kuliah. Kumengetahuinya sebab sesama anak buah sebuah organisasi yang sama meski kita beda jurusan di universitas.

Awalnya aku tidak mengetahuinya meski tidak jarang menontonnya setiap kali pergi dan pulang kuliah. Aku yang anak perantau dari Jakarta ke Medan dan belum tidak sedikit kawan yang kumiliki jadilah kita tidak jarang berbincang-bincang sore kadang di kosnya dengan kawan yang lain kadang di kosku dengan kawan-kawanku, ada juga yang satu jurusan dengannya hanya beda tingkat.

Singkat cerita entah mengapa kita pun menjadi pasangan semacam yang lainnya, usia kita tidak beda jauh hanya beda seminggu. Sebuahhari kita pulang ke kampungnya dengan maksud hati mengetahuikan aku pada orangtuanya, tetapi yang terjadi orangtuanya tidak merestui kami.

Cinta kita terbukti bukan cinta biasa sebab kita berpacaran pun sesungguhnya tidak direstui orangtuaku di Jakarta. Esok paginya saat di dapur aku mendengar orangtuanya yang nyatanya juga tidak merestui kami, aku pun memaksa pulang ke Medan.

Cintaku padanya bukan cinta biasa, begitu besar pengorbananku padanya selagi 2,5 tahun tetapi dirinya lebih memilih keluarganya daripada hubungan kami, dan akupun belajar menerima kenyataan yang ditakdirkan Tuhan padaku. Aku kembali ke Jakarta dan jalani hari-hariku sambil mencari pekerjaan dan akhirnya aku diterima bekerja di sebuah sekolah dasar swasta. Seusai sekian lama aku sendiri menutup hati untuk yang lain hadir, tanpa sengaja kita berjumpa di depan kantor kepala sekolah di mana saat itu dirinya berdiri semacam orang bingung.

Pikirku ia seorang sales buku yang datang ke sekolah-sekolah untuk memperkenalkan buku cetak untuk siswa. Nyatanya aku salah, ia menjadi patner kita sesama guru. Saat itu aku belum merasakan cinta ataupun rasa suka sebab dirinya tidak sama sekali dengan jenis laki-laki idamanku yang tinggi, berisi dan juga putih dan lebih smart dari aku. Dirinya berbadan gelap dan kurus juga berambut keriting, jauh dari jenis cowok idamanku.

Empat bulan kita menjadi partner guru rutin kita bertengkar tidak jelas dan saling sindir mesikipun tidak hingga pada pertengkaran hebat. Sejak itu kita menjadi dekat dan terus dekat apabila pergi rutin bersama pulang sekolah. Terkadang aku diantar pulang hingga di kos meski dengan jalan kaki. Tapi aku merasa tersanjung sebab ada kawan untuk ngobrol sambil berlangsung hingga tidak terasa tiba di kos. Kita pergi ke mall pun dengan naik kopaja tetapi aku merasa aman dijaganya.

Kedekatan kita yang tidak sama segalanya membikin kita pun menjadi terus dekat. Usia kita pun tidak sama 10 tahun jauhnya tapi dirinya tidak merasa malu. Saat itu aku hanya bisa menganggapnya sebagai kawan biasa. Kebersamaan kita pun tidak sedikit orang yang tidak menyukainya sebab perbedaan usia, suku dan juga status pekerjaan kami. Kita tetap jalani kebersamaan kita mesikipun diam-diam berjumpa di luar jam sekolah. Di sekolah kita tetap professional menjalankan tugas sebagai guru.

Setiap pulang les, kita pergi makan di luar dan apabila hari minggu kita pergi ibadah seusai itu pergi mengunjungi keponakannya yang tidak sama agama dari kita hanya untuk mengajaknya jalan-jalan ke mall terdekat. Kisah cinta kita terbukti semacam sinetron yang tidak tahu bagaimana akhirnya menjalani hubungan yang tidak sempat dirinya anggap ada.

Satu tahun kebersamaan kami, aku belajar membuka hati dan mencoba menyayanginya setulus hati meski tertekan batin berlajar menerima kehadirannya. Aku rutin mengiyakan kemana ia mengajakku untuk apa yang ia perbuat, semacam menemaninya ke bengkel dan juga bermain futsal meski dulu aku tidak suka bola sejak bersamanya belajar menyukai apa yang ia suka.

Seusai aku belajar menyayanginya, tetaplah cinta kita bukan cinta biasa. Aku tetap belum diakui sebagai pacarnya ataupun sebagai calon istrinya. Selagi tiga tahun bersama dan mencoba belajar mengikuti keegoisannya akhirnya aku pun ditinggal. Baginya lebih baik masuk penjara dibandingkan wajib menikah denganku yang telah mendampinginya saat dirinya sulit dan dirinya perlu bantuan. Aku rutin ada untuknya, tetapi hatiku kosong dan aku pun tertekan dengan hubungan yang tidak sempat diakui olehnya.

Kecemburuan dan juga  rasa iriku kepada pasangan lain juga membikinnya tidak mau menganggapku ada. Tidak jarangnya aku menangis berdoa pada Tuhan untuk rutin diberi ketabahan mendampinginya. Meski dirinya berasal dari keluarga yang tidak sanggup tetapi aku tidak sempat menyinggung soal harta ataupun tingkat sosial kami. Sebab cinta tidak bakal memandang harta tapi cinta memandang ketulusan dan kesungguhan hati.

Hampir tiga tahun aku bersi kukuh dengan tekanan batin yang terkadang tidak sanggup lagi kujalani, dan rutin meminta Tuhan panggil aku. Tetapi Tuhan tetap memberiku kekuatan menjalaninya untuk mengantarkan dirinya yang tidak sempat menganggapku sebagai pasangannya.

Dia menganggapku hanya kawan biasa, biasa untuk dirinya maki, biasa untuk menemaninya ke mana ia mau mesikipun aku begitu lelahnya. Biasa untuk dirinya marahi bahkan sempat sekali kita bertengkar luar biasa hanya sebab faktor sepele hingga pisaupun bermain dalam pertengkaran kami, akhirnya aku beranikan diri meminta pernyataannya aku ini apa baginya seusai semua yang kuperbuat, bahkan aku tidak sempat meminta hadiah saat Valentine alias saat ulang tahun sebab sadar untuk makan pun tetap belum cukup.

Cinta kita terbukti bukan cinta biasa semacam layaknya pasangan muda yang tetap remaja yang setiap saat inginnya rutin bersama. Cintaku hanya bertepuk sebelah tangan, akhirnya seusai dirinya pulang dari bermain futsal siangnya sebab aku menontonnya dengan wanita lain begitu tersanjung. Aku cemburu, marah, dan diam bahkan menjawab pesan darinya dengan kesedihan dan emosi. Aku diberitai hanya lewat Whatsapp jangan lagi dekat alias datang alias mencarinya di kos lumayan hingga di sini. Padahal sehari sebelumnya kita tetap baik-baik saja seusai ia tiba di Jakarta sehabis pulang dari Kupang. Dirinya dimutasi kerja demikian juga dirinya mutasi perasaan hatiku. 

Hancur hatiku seusai sekian lama mendampinginya saat sulit, saat gajinya belum lumayan untuk anggaran nasib hingga akhirnya bisa mempunyai barang-barang yang dirinya mau. Mesikipun itu semua uang hasil kerjanya dengan tutorial mencicilnya padaku, meski kadang ia tidak membayarnya dan pengorbananku rutin ada untuk dia, berkorban waktu, tenaga juga materi semua hancur sia-sia. Pengabdian cinta yang tulus dariku yang nyatanya hanya untuk dipermainkannya. Itulah cinta kedua yang kurasakan seusai aku menutup hati belasan tahun sejak ditinggal menikah cinta pertamaku.

Cintaku pada dirinya bukan cinta biasa, aku sungguh-sungguh ingin membina rumah tangga dan melalui semua rintangan bersama tetapi takdir berkehendak lain. Takdir memisahkan kami, cinta yang kuharapkan bisa bersatu semacam sebelum-sebelumnya saat ini tidak bakal mungkin lagi.

Hanya air mata yang rutin ada di setiap doaku. Sebulan lebih aku terpuruk dalam hubungan yang tidak sempat berarti baginya, aku sangat menyayanginya dan berharap bisa nasib bersamanya tetapi semua itu hanya tinggal mimpi. Aku belajar menerima takdirku bahwa cintaku tidak mungkin terbalas sebesar apapun pengorbananku tidak ada pengertian baginya.

Cintaku bukan cinta biasa untuknya tapi aku wajib belajar terima kenyataan nasib. Jangan sempat memandang cinta sebab perbedaan status ekonomi tapi binalah cinta dengan ketulusan, kejujuran juga niat untuk mengarungi bersama semua rintangan yang ada. END by Cerita Terkini 2019 - Cerita Cinta, Cerita Dewasa, Berita Olahraga dan Kesehatan.